Kamis, 14 Juni 2012

Abstrak

Akhirnya aku tidak hanya memikirkannya namun juga merasakan. Cukup rumit dan menjengkelkan. Terlalu banyak kenaifan dan dagang kepercayaan. Bingung mengapa manusia muda harus seperti itu, adakah hari tua akan dilanjutkannya. Cukup puas aku belajar mengenai hal kecil ini, tidak menantang tapi menentang, itu yang aku sesalkan. Tapi tak apalah, akupun kadang menentang walau memang caraku lebih patriot. Haha, aku terlalu percaya diri, mungkin ini kata orang tua, jiwa muda kadang tak malu membanggakan diri. Asal takarannya tak lebih, maka rasapun dijamin nikmat, tidak hambar ataupun terlalu manis.

Malam tadi aku sedikit merenung, namun sayang tak juga sampai pada penghujung. Semakin bingung, biasa aku memang selalu bingung. Tapi ini sudah keterlaluan, dan aku hampir sesat dibuatnya. Aku terjebak dalam permainan yang tak mudah aku keluar darinya, dan ternyata aku harus tetap melanjutkannya. Ini bukan mainan anak-anak ataupun mainan orang tua, ini mainan anak muda yang kadang masih dibodohi dengan ego dan logika falasi. Ah, lagi-lagi aku ngawur. Sudahlah, aku harus kembali fokus belajar, belajar, dan belajar. Masih banyak bekal yang harus kupersiapkan, dan itu tidak mudah. Berjuang untuk hidup dan kehidupan, untuk aku dan mereka, untuk dunia dan akhirat. :) Semua memang belum jelas, dan ternyata masih abstrak.

Kamis, 12 April 2012

Lorong Hidup

Menelusuri jejak terselubung sang perempuan. Bernahkodakan dilema tiada ujung. Terperangkap dalam jeruji kekhilafan, segala kefanaan menjadi kekal. Bersandar pada dinding perlawanan hingga hati jarang bergumul dengan kemesraan. Linglung memaknai cinta, bimbang memilih kumbang. Bersanding dengan keramahan menjadi sebuah ketakutan, adakah yang mereka sajikan adalah gelas bertuak? 


Aku ingin bernyanyi
Aku ingin berdansa
Dengan alam dan hewan liar


Aku bukan pembual
Aku bukan penipu
Aku adalah perempuan dengan kejujurannya


Lihat aku dengan senyum
Sapa aku dengan lembut
Jamah aku dengan mesra
Jangan jadikan nafsumu mengotori kesucianku


Lindungi aku dengan ilmu
Belai aku dengan kearifan
Nasehati aku dengan kebijaksanaan
Maka aku bukan lagi pemberontak

Senin, 02 April 2012

Diary Kehidupan Manusia

Telah lama dunia ini berotasi hingga belum tiba juga saatnya untuk berhenti. Mungkin ini adalah mimpi para dewa, hingga Tuhanpun segan untuk mengakhirinya. Ada sajak yang mengatakan manusia adalah titisan para dewa, juga ulama yang mengatakan jiwa manusia adalah percikan nur saidina Muhammad dan kuyakini kedua-duanya adalah persamaan. Aku tak mempertimbangkan nilai kebenarannya, aku hanya berpikir kapan di mana manusia membuktikan titisan itu adalah benar. Mungkin keburukan manusia adalah sistem regenerasi yang gagal, para pendahulu tak cukup memiliki kemampuan untuk mewarisi kepiawaiannya. Disinilah kita bisa membuktikan bahwa manusia tak akan pernah mencapai kesempurnaan, semakin jauh manusia melangkah maka semakin bias gambaran kesempurnaan itu dan semuanya berakhir pada keniscayaan. Apa yang kita anggap sebuah pencapaian adalah sukses ternyata salah, sebab hakikat pencapaian adalah kematian. Dunia adalah media sedangkan mati adalah hasil. Jika kita ingat kembali bahwa akhirat itu ada, disanalah pencapaian itu akan menunjukan kadarnya. 

Merangkum kehidupan dalam diary Tuhan membuat manusia terkadang lupa kapan dia menulis tentang kebaikan dan kapan tentang keburukan. Terlalu banyak yang harus diingat, hingga semuanya ia biarkan terbang bersama kebebasan. Bahkan terkadang manusia menjadi munafik dengan berlaku ramah padahal bejat, memberi senyum padahal dendam. Sungguh tak mudah jika harus dilogiskan. 

Zaman tak lagi jujur, bumipun lelah dengan ulah para khalifah. Segalanya telah kembali pada sistem primitif, barter. Kedudukan, kekuasaan, kepopuleran, bahkan sesuap nasi harus ada timbal balik yang setimpal dan itu bukan dalam batas kewajaran jika dirasiokan melalui akal kemanusiaan. Jika teori Darwin adalah benar, mungkin manusia akan berevolusi lagi dengan melihat dari tingkah dan pola lehidupannya. Dari yang kecil tak tau apa-apa hingga yang tua sudah terbiasa dengan keculasan, semenjak kecil sudah diajari bagaimana harus menjadi unggul dengan segala cara. Setiap detiknya manusia dirajam dengan rasa ketidakpuasaan, hingga dia lupa fungsi hati dan akal bagi kehidupannya. Tak ada lagi nikmat sebab semuanya sudah terpenjara dalam sel ambisi. Dunia tak lagi hijau karena iya telah memar menjadi ungu akibat kebinalan manusia. Daratan menyempit, gunung-gunung murka, langit tak lagi cerah, dan pelangi telah enggan menunjukan keindahannya. Semuanya yang manusia anggap tak lebih hebat darinya, nyatanya adalah ancaman terbesar yang tak kunjung juga disadari. 

Logika manusia semakin menyempit, hingga bahkan dia lebih memilih membunuh daripada mengakui kesalahan. Semuanya dia jadikan target, padahal manusia adalah dalam keterbatasannya. Memaksakan kehendak demi kepopuleran padahal mental bagai nyamptk yang akan mati dengan hanya ditepuk. Mengaku bijaksana padahal menyelesaikan permasalahan anakpun dia lebih memilih untuk dipenjarakan daripada repot-repot dinasehati. Sungguh ini tak ku anggap sebagai kehancuran, tapi ini adalah cara Tuhan bagaimana harus mengakhiri kehidupan manusia di muka bumi. Manusia adalah alasan kapan bumi akan berhenti berputar, dan Tuhan memiliki hukum universal agar manusia mampu berusaha bagaimana dia harus mempertahankan hingga kapan bumi akan terus menjadi tempat kehidupanya. 

Pramoedya, "Selama-lamanya manusia akan menjadi misteri"

Rabu, 07 Maret 2012

Sajak Penuntun Bagi yang Resah

Ini adalah perjalanan sayang
Hingga peluh tak tertampung kau masih harus terus berjalan
Kau tidak boleh cengeng, kau harus kuat
Jika kau lelah, bahuku adalah sandaranmu
Tidurlah, besok pagi kita harus menempuh hutan belantara
Ingat, jika raksasa menghadang 
Aku memiliki mantra Timun Mas
Kau harus yakin sayang

Lihatlah, kita hampir sampai jalan besar
Kau lihat sayang, disana sangat ramai
Kau hebat untuk melalui hutan itu
Sudah kuterka kau pasti bisa
Aku bangga padamu sayang
Kalau kita sudah sampai disana kau harus tersenyum
Agar keramaian suka padamu
Kau harus terus tersenyum, kau tidak boleh cemberut
Kau tau, mereka adalah manusia yang suka keramahan
Mereka hanya suka kepada yang terlihat baik 
Mereka tidak suka keonaran
Paham sayang

Jangan melamun
Nanti kau bisa terpedaya
Pahami satu persatu, sebab mereka tak sebaik yang kau pikirkan
Mereka bahkan lebih buas dari Singa yang kau jumpai di hutan tadi
Kau harus waspada, satu kesalahan bisa menimbulkan saratus ancaman
Bahkan lebih sayang
Jangan gemetar, aku hanya mencoba memberitahumu
Agar kau tidak menjadi bualan kenyataan
Memang berat namun itu yang harus kau hadapi
Siapa suruh kau menyuruhku menjadi petunjuk arahmu
Itu adalah resikomu, jangan salahkan aku

Kau terlihat cemas
Takut dengan manusia-manusia itu?
Sepertinya kau lebih takut pada gedung-gedung tinggi itu
Jangan resah sayang
Itu hanya tempat berteduh orang-orang hebat
Mereka memiliki otak yang cerdas
Kalau mereka marah, raksasapun kalah
Bahkan mantra Timun Mas tak kan mungkin mempan baginya

Sayang
Kenapa kau menatapku seperti itu?
Kau takut?
Hei kenapa tiba-tiba tersenyum?
Rasanya aku salah mengenalmu
Kau lebih berani dari yang kupikirkan
Mari sayang, ikuti aku menemui manusia-manusia itu.


Senin, 05 Maret 2012

Gejolak Lirih Nurani.

Sunyi dalam sepinya sepi. Merayu pada bulan agar terus berjaga tanpa memperdulikan bintang. Dingin hawa kota tak membuatku berkutik untuk menarik selimut. Rasanya mimpi bertemu para dewa bukan lagi hal yang menyenangkan. Kehidupan ini semakin membuatku linglung, mungkinkah aku suatu kelak menjadi orang picik?Mungkinkah di masa depan aku adalah orang kikir pada sesama? Mungkinkah? Mungkinkah? Mungkinkah nanti jika tiba saatnya aku mampu berlaku adil terhadap diriku dan orang lain? Tolong jangan butakan aku dengan kebekuan nalar dan nurani.

Sungguh aku menghawatirkan diri ini, adakah kelak cita-citaku akan menjadikanku tulus untuk menjalani. Melihat begitu banyak fenomena yang sering membuatku resah. Kehidupan yang ironi di bumi nusantara membuatku menggigil untuk terus memikirkannya. Melihat pemuka agama yang sibuk berkhutbah namun lupa kepada mereka yang berteriak lapar. Menyaksikan media yang hanya sibuk mengumbar fitnah. Mendengar pidato kemunafikan menggema hampir diseluruh negeri, hingga gendang telinga penuh dengan suara-suara sangau sang penggombal. Hampir tak ada lagi tempat untuk menampungnya.

Rasanya segala sistem semakin rancu, tak lagi memiliki poros untuk tetap pada jalurnya. Rotasi kepemimpinan melambat, kemudian generasi yang akan terus menjadi korban. Kebangkitan pemuda tanah air benar adanya, namun rasanya mereka tak lagi seperti kertas putih dengan janji kemanusiaan. Mungkin karena kehidupan yang semakin labil, hingga perjuangan yang melelahkan tak lagi membara. Semuanya lemas tanpa daya, sebab kendali telah orang lain kuasai. Dimanakah tempatku kelak? Diantara para pejuang ataukah pecundang? Lagi-lagi Tuhan jangan Kau biarkan aku lepas ilmu dan adab.

Sakit jiwa ini melihat anak-anak kecil harus berpeluh demi receh yang bernilai sebungkus nasi. Para orang tua kemudian menyerah pada kemunafikan dengan bertopeng kasih demi berlanjutnya pendidikan anak tersayang. Aduhai dunia, betapa dikau memang sudah tua. Nurani manusiapun semakin tua dan pikun. Lupa akan segala kebajikan, dan bersama-sama menjunjung kebejatan. Miskin dan kaya tak lagi bisa dibedakan, sebab jiwa telah berpadu dalam kebohongan demi perut yang telah menjadi raja. Haruskah diri ini membela siapa? Betapa dilema yang menyesakkan. Aku terhimpit pada dua dunia satu kepribadian. Dan aku putuskan untuk tidak membela siapapun, aku akan terus berjalan hingga takdir mempertemukanku pada waktu dimana aku harus membela kebenaran. 

Dunia sedang bermimpi, malam tak lagi ramai. Aku masih disini bergurau dengan emosi yang tak berujung. Menyantuni jiwa yang semakin miskin akan ilmu pengetahuan. Setiap detiknya, satu persatu ide berhamburan, berserakan dan satupun tak manusia hiraukan. Uang, uang, dan uang itu yang menjadi segala tujuan. Akupun butuh uang, namun kupertahankan agar idealismeku tak tergadaikan oleh uang. Begitupun inginku pada yang lain, agar kita tak menjadi jiwa-jiwa murah dengan dihargai nominal.

Akhirnya aku harus menyerah, besok harus kujumpai tuan berilmu tepat pukul 06.30 pagi. Menarilah dengan ilmu agar kelak kau tak menjadi budak kemunafikan. 

Selasa, 28 Februari 2012

Entahlah...

Irama tawa manusia tak lagi ori. Seperti bajakan yang dijual murah meriah. Aku tak mau menjadi murahan hanya atas nama penghormatan. Aku memang tak puas dengan kebijakan yang sok kepintaran. Aku muak dengan segala dongeng leluhur yang menyimpan kemunafikan. Aku bosan dengan hidup yang terus membanggakan ras, agama, dan golongan. Dan ironisnya aku tak punya pilihan dengan cukup berteriak dipinggir trotoar. Aku memang sial dengan kekuasaanku yang tak lebih banyak dari mereka. 

Aku bukan seperti kata mereka yang masuk dalam golongan anarkis. Aku hanya ingin membuktikan apakah teori selalu benar jika ada praksis. Terkadang memang benar, namun seringnya aku terjebak. Dan aku sial lagi, bertubi-tubi. 

Aku bukan kapitalis atau nasionalis, aku adalah manusia bebas dengan akal dan nurani. Aku juga bukan penganut feminis, aku adalah perempuan dengan segala kodrat dan derajat yang Tuhan karuniakan. Aku bukan segalanya dengan teori yang banyak mebuatku risih, aku adalah aku. Aku berani menghadapi segala kemungkinan, sungguh ini bukan sebuah kesombongan. Sebab aku yakin dengan atas nama aku maka aku akan mampu. Sampai kapanpun manusia akan tetap menjadi misteri, begitupun diriku. Jadi jangan sok tau dengan mengatakan aku adalah salah satu jenis manusia yang tidak mampu. 

Entah mengapa harus ada diskriminasi, terlau sempit pandangan kalian yang mengaku fasih segala ilmu. Kebijakan palsu yang dipaksa, jabatan berlapis sogokan, segalanya memang memabukan. Aku malu sebagai generasi, aku menangis sebagai penerus kehancuran ini. Tapi biarlah, toh aku dan kalian sangat berbeda. Sebab selalu kuyakini, kalian adalah pengalaman yang tidak akan pernah mampu seorang guru mengajarkan padaku. Terima kasih kuhanturkan, sebab kalian mengurangi kemungkinan akan degradasi moralku. 

Ingin Bertahan

Meraung sekuat-kuatnya, buat diriku adalah yang paling menderita hingga kulupa apa itu bahagia. Hingga aku tak mampu melukis senyum pada wajah, sampai mereka lupa bahwa aku pernah menjadi teman kecil yang sangat menyenangkan di desa yang juga kulupa namanya. Bertanyalah hingga aku dianggap orang yang paling bodoh, dan akan kujawab hingga cacian puas kuteguk. 

Menjadi autis, menyendiri dengan segala kebingungan yang tak kunjung datang walau satu wahyu jawaban. Berpikir dengan segala kelemahan yang sulit menjadi mungkin mengantarkanku pada titik kebenaran, aku terkadang menjadi mengerikan. Jawaban, solusi, dan motivasi seperti candu yang sulit untuk dihentikan, seakan menyuruhku untuk terus menjadi abdi sejati. Aku mungkin tak mampu, tapi juga aku sangat mungkin mampu. Percaya pada potensi adalah petuah guru, dan itu cukup memberiku alasan untuk mampu menikmati segala tantangan. Jika benar neraka itu maha dasyat siksaanya, mungkin sebagiannya sudah kunikmati dengan senang hati. Dan jika benar surga itu adalah maha dasyat keindahannya, maka aku bingung untuk menakar berapa besar yang telah aku nikmati. Naif memang, namun ini bukan rintihan. 

Berbalas kata dengan kawan seperjuangan memang cukup menghalau segala kegundahan, mencaci kekurangan, memuji kecerdasan, atau bahkan saling berlomba memaksakan diri adalah yang paling benar, dan semua sangat menyenangkan. Sampai seringnnya tak ragu untuk saling mengkafirkan. Entah siapa yang benar itu tidak pernah menjadi penting, sebab kesimpulan pada masing-masing yang memiliki akal. Sering aku tidak paham, mengapa harus sekeras ini? Mengapa aku turut menjadi peserta? Dan sampai saat ini kesimpulanku masih saja adalah aku orang yang mampu untuk ikut berproses dengan segala kesengsaran dan kenikmatan. Dan itu masih membuatku tak puas, sebab seperti masih ada yang mengganjal, entah apa akupun tidak tau. Namun satu kebijakanku pada hidup adalah segala kesimpulan tentang aku bukan aku yang menentukan, akan tetapi orang-orang yang menyaksikan drama hidup, serta jejak langkahku.

Kepuasan akan kesengsaraan adalah titik bahagia dalam hidupku, menjadi yang paling bersyukur adalah ketika aku mampu menemukan dimana aku harus berada dan bersama siapa.


Jumat, 24 Februari 2012

Merogoh Saku Cinta.

Cinta. Menjamah setiap jiwa manusia. Memuja setiap jasad yang mendambakannya. Merangkul mereka yang kesepian, dan menunjuk pada mereka yang tak tahu arah. Manusia sebagai objek cinta memiliki dua pilihan, bahagia atau duka. Begitu dasyatnya cinta hingga manusia tak kan pernah lepas dari cengkraman cinta, walau itu terkadang menyakitinya. Dalam syairnya, Kahlil Gibran menguraikan bahwasannya: "Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia walau jalannya berliku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu." Begitu berkuasa cinta kepada manusia. Sungguh terkadang itu melukaiku. Haruskah aku terus memuja cinta, walau cinta tak berpihak padaku? Entahlah, itu hanya rengekan kekanak-kanakanku. :)

Cinta, ya cinta. Merajam nalar dan hati manusia hingga tak mampu bergerak walau selangkah. Menusuk-nusuk hingga darah tak lagi berwarna merah. Menghalau setiap pandangan manusia, hingga cinta dipandang buta. Rela berkorban atas nama cinta padahal tak sadar ia sedang dalam kuasa iblis. Itukah cinta? Hingga ia lupa siapakah yang paling berkuasa, manusia atau cinta? Sesungguhnya cinta ada dalam jiwa setiap manusia, ia bertempat pada posisi yang rawan yakni antara akal, hati, dan nafsu. Tergantung mana yang mampu mengendalikan, maka disitulah cinta akan berperan. Jika manusia membiarkan akal yang mengendalikan, maka cinta akan pragmatis, ia tak mampu meresapi cinta secara lebih dalam. Jika cinta terkendali oleh hati, maka cinta akan menjadi cengeng sebab segalanya berdasarkan perasaan. Dan jika cinta terkendali oleh nafsu, maka hancurlah segala peradaban hidupnya. Manusia adalah makhluk terpandai di muka bumi ini, maka cerdas-cerdaslah mengolah cinta dalam hidup.

Sudahkah kita sadari, cinta tak sesederhana yang kita angankan. Terkadang manusia hanya memuja cinta pada garis horizontal hingga ia lupa hakikat cinta pada garis vertikal. Tanpa izin Tuhan, manusia mana mampu merasakan cinta. Tanpa kuasa-Nya, maka tak mungkin manusia bergumul pada kenikmatan cinta. Sebuah kemustahilan jika semua tanpa campur tangan-Nya. Terlalu berat jika harus diakui, cinta manusia terlalu banyak yang kenak-kanakan. Tertawa disaat bahagia, meraung disaat sedih. Terlalu gampang manusia mengekspresikan cinta dalam dirinya, padahal seharusnya ia mampu merasakan cinta tak seharusnya ia jadikan Tuhan tetapi cinta mampu mengantarkannya pada Tuhan. Manusia adalah tempatnya segala keistimewaan, segala keunikan, segala kebebasan, maka sudah sewajarnya manusia mampu memaknainya. Atas dasar kebebasan, maka manusia bebas berdefinisi tentang cinta begitupun aku.

Mencinta lawan jenis adalah keindahan, itu menurutku. Merasakan segala debaran yang tak terdefinisikan. Serasa jiwa sedang menari dalam alam Tuhan. Sungguh segalanya berwarna jingga, seluruh cahaya hanya menghantarakan siluet dirinya. Hingga aku berkesimpulan bahwa cinta adalah debaran. Berdebar ketika kita mendengar namanya. Berdebar ketika kita mendengar orang menyebut kelebihannya, berdebar ketika mendengar kekurangannya diperbincangkan hingga rasanya kita ingin lebih jauh mengenalnya. Debaran cinta layaknya debaran hati kita ketika mendengar asma Tuhan disebut, dan selamanya cinta itu akan selalu berdebar. Jadilah manusia yang mencintai, jadikan hati adalah sumber cinta. Hingga tak ada kedengkian yang mampu merasuk dalam diri kita. Hingga mencinta terbalas dengan dicinta.

Rabu, 22 Februari 2012

Sang Perempuan dan Buana Paradigma Hidupnya.

Kegelisahan seorang perempuan yang tengah melanglang buana kehidupan. Menerka-nerka langkah yang belum pasti benar atau salah. Menjadikan sang perempuan hidup dalam balutan tanda tanya dan kegelisahan. Terkadang ada perkataan yang menyudutkan atau bahkan sengaja menggeser sang perempuan ke lembah yang sulit terjamah oleh kilat cahaya suci. Buatnya, itulah debaran sang petualang gender. Mencari jati diri dan eksistensi keberadaanya. Mencoba melawan arus yang tak mudah, menghalau cibiran yang memandangnya tak mampu berbuat sesuatu. Hembusan nafasnya merupakan pertaruhan seberapa kuat dia mampu membuktikan potensinya sebagai khalifah di muka bumi. Merealitaskan sesuatu yang dulu adalah tabu bagi yang awam. Sang perempuan gigih memperjuangkan dirinya juga makhluk-makhluk lain yang bernama perempuan. Sebagai awal permulaan adalah keyakinan. Bukanhkah pondasi terkuat manusia adalah keyakinan??? Bukankah hidup harus memilih??? Sang perempuan memilih untuk tetap maju.

Jalan itu tidak lurus, banyak liku-liku yang tak terduga. Terkadang ribuan fatamorgana menghadang. Paradigma di eksploitasi pengandaian. Sungguh sebuah penyiksaan yang pasti. Merawat dengan kemewahan dan kemudian hancur dengan kenikmatan. Suatu masa, jalan itu terputus dengan bermacam sebab. Harta, kawan, dan hedonisme mengambil bagian terbesarnya. Frustasi menjemput, hingga hampir gila dibuatnya. Malam adalah gelap yang menakutkan, kemudian siang adalah cahaya yang menyilaukan. Sang perempuan ketakutan, dahaga atas sebuah kenyamanan. Hingga suatu ketika, sualah ia dengan sang penyelamat. Jauh entah berantah, nurani berkecamuk. Mencoba menyelamatkan jasad tempat ia bersemayam. Pergolakan antara nafsu dan akal yang tak biasa. Membutuhkan hati sebagai hakim mutlak. Disitulah bukti semua bukan hanya sebuah keniscayaan. Selalu ada celah bagi sang penyelamat, merasuk secara perlahan pada relung jiwa terdalam.

Tidak merata namun ia bergerak pasti. Terkadang nalar tak mampu menjangkau, dan hanya dengan satu cara yaitu pemaksaan. Tindakan kriminal atas otak yang tak mudah mencerna, itu adalah wajar menurutnya. Bukankah terkadang manusia butuh dipaksa??? Bukankah tidak mustahil pemaksaan adalah jalan penengah atas membatunya moral dam akal??? Lagi-lagi sebuah dilema. Kembali pada yang Maha Mengetahui, pada arah mana sang perempuan akan menempuh jalannya.

Selasa, 21 Februari 2012

Cinta Menyambut Cita


Adakah dikau lihat
Wajah-wajah polos tanpa dosa
Menghiasi cakrwala hati yang suci
Meramu derita menjadi senyum kebahagiaan
Melawan arus kemunafikan dari samudera keserakahan

Aku tekungkung dalam nikmatnya keluguan
Menikmati dunia tanpa penderitaan
Menyambut mentari dengan nafas keoptimisan
Merangkul tubuh mungil penuh energi kehidupan
Ahh, aku terbuai pada keindahan mereka
Aku ingin, dan selalu ingin menikmatinya

Mencoba masuk pada dunia yang telah lama kulaui
Merasakan hangatnya ketulusan
Cinta yang kudapat tak kan pernah mampu teruraikan
 Rasanya ini adalah takdir terindah yang pernah kudapatkan
Aku tak ingin berandai akan sebuah kenyataan
Sebab semuanya telah terwujud pada senyum ceria
Terima kasih, pada tubuh mungil yang telah memberiku cinta tak terbatas
Membuatku teguh pada cita yang mulanya aku ragukan :)

 



Senin, 02 Januari 2012

Dilema kemunafikan.

Bergumul dengan beribu delima yang tak kunjung usai. Mencari jejak para sufi yang tak mungkin ada lagi. Ku berhenti pada batas hitam yang sungguh mampu membunuh asa. Dengan inderaku, aku melihat kebiadaban, kebodohan, dan kebimbangan yang mungkin tak kunjung mereka pahami. Terkadang hatiku muram, logika tak mampu menyerap apa yang sedang terjadi. Sungguh sebuah ketololan yang terus membutakan peta nafas kehidupan. Sedangkan nurani tetap menalar jejak para pendusta, mengajak pada kemaksiatan dan intim dengan kefanaan. Dan nuraniku menolak, mengajak pada indahnya kejujuran dan kepolosan adab.

Spontan, aku membenci semua ini. Sedangkan nyawaku ada pada sedikit kebejatan yang mereka lakukan. Sungguh hampir sama saja aku dengan daun-daun kering yang gugur pada musim semi kehidupan. Aku, lagi-lagi berdusta pada keyakinan yang sedang aku suburkan. Musin seakan terus kemarau, dan aku kering menunggu kematian. Mungkin aku masih seorang yang munafik, dan aku menangis karena itu.

Adakah benar lubang kecil yang kuidamkan. Sebuah lorong menuju kesempurnaan. Ingin kutelusuri, namun aku hanyalah mahkluk kecil berlumuran dosa. Dan itu membuatku naif untuk terus menjunjung kebikjasanaan atas sebuah kebenaran. Tapi biarlah, bukankah kita semua sama saja. Kemunafikan hanyalah noda hitam yang bisa dihapus dengan sebuah kebaikan. Manusia hanyalah manusia, bukan dewa atau malaikat. Kemunafikan mampu menciptakan kematian dan kebaikan seketika akan membawa kehidupan baru bagi manusia yang tadinya membenci mereka yang munafik. Menggelitik hati, mengorek logika hingga aku harus terus tertawa atas sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan lelucon antara kemunafikan dan kebaikan.

Hiduplah dengan caramu dan berfikirlah dengan caramu. Kau bukan aku, dia, ataupun mereka!