Rabu, 22 Februari 2012

Sang Perempuan dan Buana Paradigma Hidupnya.

Kegelisahan seorang perempuan yang tengah melanglang buana kehidupan. Menerka-nerka langkah yang belum pasti benar atau salah. Menjadikan sang perempuan hidup dalam balutan tanda tanya dan kegelisahan. Terkadang ada perkataan yang menyudutkan atau bahkan sengaja menggeser sang perempuan ke lembah yang sulit terjamah oleh kilat cahaya suci. Buatnya, itulah debaran sang petualang gender. Mencari jati diri dan eksistensi keberadaanya. Mencoba melawan arus yang tak mudah, menghalau cibiran yang memandangnya tak mampu berbuat sesuatu. Hembusan nafasnya merupakan pertaruhan seberapa kuat dia mampu membuktikan potensinya sebagai khalifah di muka bumi. Merealitaskan sesuatu yang dulu adalah tabu bagi yang awam. Sang perempuan gigih memperjuangkan dirinya juga makhluk-makhluk lain yang bernama perempuan. Sebagai awal permulaan adalah keyakinan. Bukanhkah pondasi terkuat manusia adalah keyakinan??? Bukankah hidup harus memilih??? Sang perempuan memilih untuk tetap maju.

Jalan itu tidak lurus, banyak liku-liku yang tak terduga. Terkadang ribuan fatamorgana menghadang. Paradigma di eksploitasi pengandaian. Sungguh sebuah penyiksaan yang pasti. Merawat dengan kemewahan dan kemudian hancur dengan kenikmatan. Suatu masa, jalan itu terputus dengan bermacam sebab. Harta, kawan, dan hedonisme mengambil bagian terbesarnya. Frustasi menjemput, hingga hampir gila dibuatnya. Malam adalah gelap yang menakutkan, kemudian siang adalah cahaya yang menyilaukan. Sang perempuan ketakutan, dahaga atas sebuah kenyamanan. Hingga suatu ketika, sualah ia dengan sang penyelamat. Jauh entah berantah, nurani berkecamuk. Mencoba menyelamatkan jasad tempat ia bersemayam. Pergolakan antara nafsu dan akal yang tak biasa. Membutuhkan hati sebagai hakim mutlak. Disitulah bukti semua bukan hanya sebuah keniscayaan. Selalu ada celah bagi sang penyelamat, merasuk secara perlahan pada relung jiwa terdalam.

Tidak merata namun ia bergerak pasti. Terkadang nalar tak mampu menjangkau, dan hanya dengan satu cara yaitu pemaksaan. Tindakan kriminal atas otak yang tak mudah mencerna, itu adalah wajar menurutnya. Bukankah terkadang manusia butuh dipaksa??? Bukankah tidak mustahil pemaksaan adalah jalan penengah atas membatunya moral dam akal??? Lagi-lagi sebuah dilema. Kembali pada yang Maha Mengetahui, pada arah mana sang perempuan akan menempuh jalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar