Cinta. Menjamah setiap jiwa manusia. Memuja setiap jasad yang mendambakannya. Merangkul mereka yang kesepian, dan menunjuk pada mereka yang tak tahu arah. Manusia sebagai objek cinta memiliki dua pilihan, bahagia atau duka. Begitu dasyatnya cinta hingga manusia tak kan pernah lepas dari cengkraman cinta, walau itu terkadang menyakitinya. Dalam syairnya, Kahlil Gibran menguraikan bahwasannya: "Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia walau jalannya berliku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu." Begitu berkuasa cinta kepada manusia. Sungguh terkadang itu melukaiku. Haruskah aku terus memuja cinta, walau cinta tak berpihak padaku? Entahlah, itu hanya rengekan kekanak-kanakanku. :)
Cinta, ya cinta. Merajam nalar dan hati manusia hingga tak mampu bergerak walau selangkah. Menusuk-nusuk hingga darah tak lagi berwarna merah. Menghalau setiap pandangan manusia, hingga cinta dipandang buta. Rela berkorban atas nama cinta padahal tak sadar ia sedang dalam kuasa iblis. Itukah cinta? Hingga ia lupa siapakah yang paling berkuasa, manusia atau cinta? Sesungguhnya cinta ada dalam jiwa setiap manusia, ia bertempat pada posisi yang rawan yakni antara akal, hati, dan nafsu. Tergantung mana yang mampu mengendalikan, maka disitulah cinta akan berperan. Jika manusia membiarkan akal yang mengendalikan, maka cinta akan pragmatis, ia tak mampu meresapi cinta secara lebih dalam. Jika cinta terkendali oleh hati, maka cinta akan menjadi cengeng sebab segalanya berdasarkan perasaan. Dan jika cinta terkendali oleh nafsu, maka hancurlah segala peradaban hidupnya. Manusia adalah makhluk terpandai di muka bumi ini, maka cerdas-cerdaslah mengolah cinta dalam hidup.
Sudahkah kita sadari, cinta tak sesederhana yang kita angankan. Terkadang manusia hanya memuja cinta pada garis horizontal hingga ia lupa hakikat cinta pada garis vertikal. Tanpa izin Tuhan, manusia mana mampu merasakan cinta. Tanpa kuasa-Nya, maka tak mungkin manusia bergumul pada kenikmatan cinta. Sebuah kemustahilan jika semua tanpa campur tangan-Nya. Terlalu berat jika harus diakui, cinta manusia terlalu banyak yang kenak-kanakan. Tertawa disaat bahagia, meraung disaat sedih. Terlalu gampang manusia mengekspresikan cinta dalam dirinya, padahal seharusnya ia mampu merasakan cinta tak seharusnya ia jadikan Tuhan tetapi cinta mampu mengantarkannya pada Tuhan. Manusia adalah tempatnya segala keistimewaan, segala keunikan, segala kebebasan, maka sudah sewajarnya manusia mampu memaknainya. Atas dasar kebebasan, maka manusia bebas berdefinisi tentang cinta begitupun aku.
Mencinta lawan jenis adalah keindahan, itu menurutku. Merasakan segala debaran yang tak terdefinisikan. Serasa jiwa sedang menari dalam alam Tuhan. Sungguh segalanya berwarna jingga, seluruh cahaya hanya menghantarakan siluet dirinya. Hingga aku berkesimpulan bahwa cinta adalah debaran. Berdebar ketika kita mendengar namanya. Berdebar ketika kita mendengar orang menyebut kelebihannya, berdebar ketika mendengar kekurangannya diperbincangkan hingga rasanya kita ingin lebih jauh mengenalnya. Debaran cinta layaknya debaran hati kita ketika mendengar asma Tuhan disebut, dan selamanya cinta itu akan selalu berdebar. Jadilah manusia yang mencintai, jadikan hati adalah sumber cinta. Hingga tak ada kedengkian yang mampu merasuk dalam diri kita. Hingga mencinta terbalas dengan dicinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar