Menjadi autis, menyendiri dengan segala kebingungan yang tak kunjung datang walau satu wahyu jawaban. Berpikir dengan segala kelemahan yang sulit menjadi mungkin mengantarkanku pada titik kebenaran, aku terkadang menjadi mengerikan. Jawaban, solusi, dan motivasi seperti candu yang sulit untuk dihentikan, seakan menyuruhku untuk terus menjadi abdi sejati. Aku mungkin tak mampu, tapi juga aku sangat mungkin mampu. Percaya pada potensi adalah petuah guru, dan itu cukup memberiku alasan untuk mampu menikmati segala tantangan. Jika benar neraka itu maha dasyat siksaanya, mungkin sebagiannya sudah kunikmati dengan senang hati. Dan jika benar surga itu adalah maha dasyat keindahannya, maka aku bingung untuk menakar berapa besar yang telah aku nikmati. Naif memang, namun ini bukan rintihan.
Berbalas kata dengan kawan seperjuangan memang cukup menghalau segala kegundahan, mencaci kekurangan, memuji kecerdasan, atau bahkan saling berlomba memaksakan diri adalah yang paling benar, dan semua sangat menyenangkan. Sampai seringnnya tak ragu untuk saling mengkafirkan. Entah siapa yang benar itu tidak pernah menjadi penting, sebab kesimpulan pada masing-masing yang memiliki akal. Sering aku tidak paham, mengapa harus sekeras ini? Mengapa aku turut menjadi peserta? Dan sampai saat ini kesimpulanku masih saja adalah aku orang yang mampu untuk ikut berproses dengan segala kesengsaran dan kenikmatan. Dan itu masih membuatku tak puas, sebab seperti masih ada yang mengganjal, entah apa akupun tidak tau. Namun satu kebijakanku pada hidup adalah segala kesimpulan tentang aku bukan aku yang menentukan, akan tetapi orang-orang yang menyaksikan drama hidup, serta jejak langkahku.
Kepuasan akan kesengsaraan adalah titik bahagia dalam hidupku, menjadi yang paling bersyukur adalah ketika aku mampu menemukan dimana aku harus berada dan bersama siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar