Sungguh aku menghawatirkan diri ini, adakah kelak cita-citaku akan menjadikanku tulus untuk menjalani. Melihat begitu banyak fenomena yang sering membuatku resah. Kehidupan yang ironi di bumi nusantara membuatku menggigil untuk terus memikirkannya. Melihat pemuka agama yang sibuk berkhutbah namun lupa kepada mereka yang berteriak lapar. Menyaksikan media yang hanya sibuk mengumbar fitnah. Mendengar pidato kemunafikan menggema hampir diseluruh negeri, hingga gendang telinga penuh dengan suara-suara sangau sang penggombal. Hampir tak ada lagi tempat untuk menampungnya.
Rasanya segala sistem semakin rancu, tak lagi memiliki poros untuk tetap pada jalurnya. Rotasi kepemimpinan melambat, kemudian generasi yang akan terus menjadi korban. Kebangkitan pemuda tanah air benar adanya, namun rasanya mereka tak lagi seperti kertas putih dengan janji kemanusiaan. Mungkin karena kehidupan yang semakin labil, hingga perjuangan yang melelahkan tak lagi membara. Semuanya lemas tanpa daya, sebab kendali telah orang lain kuasai. Dimanakah tempatku kelak? Diantara para pejuang ataukah pecundang? Lagi-lagi Tuhan jangan Kau biarkan aku lepas ilmu dan adab.
Sakit jiwa ini melihat anak-anak kecil harus berpeluh demi receh yang bernilai sebungkus nasi. Para orang tua kemudian menyerah pada kemunafikan dengan bertopeng kasih demi berlanjutnya pendidikan anak tersayang. Aduhai dunia, betapa dikau memang sudah tua. Nurani manusiapun semakin tua dan pikun. Lupa akan segala kebajikan, dan bersama-sama menjunjung kebejatan. Miskin dan kaya tak lagi bisa dibedakan, sebab jiwa telah berpadu dalam kebohongan demi perut yang telah menjadi raja. Haruskah diri ini membela siapa? Betapa dilema yang menyesakkan. Aku terhimpit pada dua dunia satu kepribadian. Dan aku putuskan untuk tidak membela siapapun, aku akan terus berjalan hingga takdir mempertemukanku pada waktu dimana aku harus membela kebenaran.
Dunia sedang bermimpi, malam tak lagi ramai. Aku masih disini bergurau dengan emosi yang tak berujung. Menyantuni jiwa yang semakin miskin akan ilmu pengetahuan. Setiap detiknya, satu persatu ide berhamburan, berserakan dan satupun tak manusia hiraukan. Uang, uang, dan uang itu yang menjadi segala tujuan. Akupun butuh uang, namun kupertahankan agar idealismeku tak tergadaikan oleh uang. Begitupun inginku pada yang lain, agar kita tak menjadi jiwa-jiwa murah dengan dihargai nominal.
Akhirnya aku harus menyerah, besok harus kujumpai tuan berilmu tepat pukul 06.30 pagi. Menarilah dengan ilmu agar kelak kau tak menjadi budak kemunafikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar