Bergumul dengan beribu delima yang tak kunjung usai. Mencari jejak para sufi yang tak mungkin ada lagi. Ku berhenti pada batas hitam yang sungguh mampu membunuh asa. Dengan inderaku, aku melihat kebiadaban, kebodohan, dan kebimbangan yang mungkin tak kunjung mereka pahami. Terkadang hatiku muram, logika tak mampu menyerap apa yang sedang terjadi. Sungguh sebuah ketololan yang terus membutakan peta nafas kehidupan. Sedangkan nurani tetap menalar jejak para pendusta, mengajak pada kemaksiatan dan intim dengan kefanaan. Dan nuraniku menolak, mengajak pada indahnya kejujuran dan kepolosan adab.
Spontan, aku membenci semua ini. Sedangkan nyawaku ada pada sedikit kebejatan yang mereka lakukan. Sungguh hampir sama saja aku dengan daun-daun kering yang gugur pada musim semi kehidupan. Aku, lagi-lagi berdusta pada keyakinan yang sedang aku suburkan. Musin seakan terus kemarau, dan aku kering menunggu kematian. Mungkin aku masih seorang yang munafik, dan aku menangis karena itu.
Adakah benar lubang kecil yang kuidamkan. Sebuah lorong menuju kesempurnaan. Ingin kutelusuri, namun aku hanyalah mahkluk kecil berlumuran dosa. Dan itu membuatku naif untuk terus menjunjung kebikjasanaan atas sebuah kebenaran. Tapi biarlah, bukankah kita semua sama saja. Kemunafikan hanyalah noda hitam yang bisa dihapus dengan sebuah kebaikan. Manusia hanyalah manusia, bukan dewa atau malaikat. Kemunafikan mampu menciptakan kematian dan kebaikan seketika akan membawa kehidupan baru bagi manusia yang tadinya membenci mereka yang munafik. Menggelitik hati, mengorek logika hingga aku harus terus tertawa atas sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan lelucon antara kemunafikan dan kebaikan.
Hiduplah dengan caramu dan berfikirlah dengan caramu. Kau bukan aku, dia, ataupun mereka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar