Rabu, 07 Maret 2012

Sajak Penuntun Bagi yang Resah

Ini adalah perjalanan sayang
Hingga peluh tak tertampung kau masih harus terus berjalan
Kau tidak boleh cengeng, kau harus kuat
Jika kau lelah, bahuku adalah sandaranmu
Tidurlah, besok pagi kita harus menempuh hutan belantara
Ingat, jika raksasa menghadang 
Aku memiliki mantra Timun Mas
Kau harus yakin sayang

Lihatlah, kita hampir sampai jalan besar
Kau lihat sayang, disana sangat ramai
Kau hebat untuk melalui hutan itu
Sudah kuterka kau pasti bisa
Aku bangga padamu sayang
Kalau kita sudah sampai disana kau harus tersenyum
Agar keramaian suka padamu
Kau harus terus tersenyum, kau tidak boleh cemberut
Kau tau, mereka adalah manusia yang suka keramahan
Mereka hanya suka kepada yang terlihat baik 
Mereka tidak suka keonaran
Paham sayang

Jangan melamun
Nanti kau bisa terpedaya
Pahami satu persatu, sebab mereka tak sebaik yang kau pikirkan
Mereka bahkan lebih buas dari Singa yang kau jumpai di hutan tadi
Kau harus waspada, satu kesalahan bisa menimbulkan saratus ancaman
Bahkan lebih sayang
Jangan gemetar, aku hanya mencoba memberitahumu
Agar kau tidak menjadi bualan kenyataan
Memang berat namun itu yang harus kau hadapi
Siapa suruh kau menyuruhku menjadi petunjuk arahmu
Itu adalah resikomu, jangan salahkan aku

Kau terlihat cemas
Takut dengan manusia-manusia itu?
Sepertinya kau lebih takut pada gedung-gedung tinggi itu
Jangan resah sayang
Itu hanya tempat berteduh orang-orang hebat
Mereka memiliki otak yang cerdas
Kalau mereka marah, raksasapun kalah
Bahkan mantra Timun Mas tak kan mungkin mempan baginya

Sayang
Kenapa kau menatapku seperti itu?
Kau takut?
Hei kenapa tiba-tiba tersenyum?
Rasanya aku salah mengenalmu
Kau lebih berani dari yang kupikirkan
Mari sayang, ikuti aku menemui manusia-manusia itu.


Senin, 05 Maret 2012

Gejolak Lirih Nurani.

Sunyi dalam sepinya sepi. Merayu pada bulan agar terus berjaga tanpa memperdulikan bintang. Dingin hawa kota tak membuatku berkutik untuk menarik selimut. Rasanya mimpi bertemu para dewa bukan lagi hal yang menyenangkan. Kehidupan ini semakin membuatku linglung, mungkinkah aku suatu kelak menjadi orang picik?Mungkinkah di masa depan aku adalah orang kikir pada sesama? Mungkinkah? Mungkinkah? Mungkinkah nanti jika tiba saatnya aku mampu berlaku adil terhadap diriku dan orang lain? Tolong jangan butakan aku dengan kebekuan nalar dan nurani.

Sungguh aku menghawatirkan diri ini, adakah kelak cita-citaku akan menjadikanku tulus untuk menjalani. Melihat begitu banyak fenomena yang sering membuatku resah. Kehidupan yang ironi di bumi nusantara membuatku menggigil untuk terus memikirkannya. Melihat pemuka agama yang sibuk berkhutbah namun lupa kepada mereka yang berteriak lapar. Menyaksikan media yang hanya sibuk mengumbar fitnah. Mendengar pidato kemunafikan menggema hampir diseluruh negeri, hingga gendang telinga penuh dengan suara-suara sangau sang penggombal. Hampir tak ada lagi tempat untuk menampungnya.

Rasanya segala sistem semakin rancu, tak lagi memiliki poros untuk tetap pada jalurnya. Rotasi kepemimpinan melambat, kemudian generasi yang akan terus menjadi korban. Kebangkitan pemuda tanah air benar adanya, namun rasanya mereka tak lagi seperti kertas putih dengan janji kemanusiaan. Mungkin karena kehidupan yang semakin labil, hingga perjuangan yang melelahkan tak lagi membara. Semuanya lemas tanpa daya, sebab kendali telah orang lain kuasai. Dimanakah tempatku kelak? Diantara para pejuang ataukah pecundang? Lagi-lagi Tuhan jangan Kau biarkan aku lepas ilmu dan adab.

Sakit jiwa ini melihat anak-anak kecil harus berpeluh demi receh yang bernilai sebungkus nasi. Para orang tua kemudian menyerah pada kemunafikan dengan bertopeng kasih demi berlanjutnya pendidikan anak tersayang. Aduhai dunia, betapa dikau memang sudah tua. Nurani manusiapun semakin tua dan pikun. Lupa akan segala kebajikan, dan bersama-sama menjunjung kebejatan. Miskin dan kaya tak lagi bisa dibedakan, sebab jiwa telah berpadu dalam kebohongan demi perut yang telah menjadi raja. Haruskah diri ini membela siapa? Betapa dilema yang menyesakkan. Aku terhimpit pada dua dunia satu kepribadian. Dan aku putuskan untuk tidak membela siapapun, aku akan terus berjalan hingga takdir mempertemukanku pada waktu dimana aku harus membela kebenaran. 

Dunia sedang bermimpi, malam tak lagi ramai. Aku masih disini bergurau dengan emosi yang tak berujung. Menyantuni jiwa yang semakin miskin akan ilmu pengetahuan. Setiap detiknya, satu persatu ide berhamburan, berserakan dan satupun tak manusia hiraukan. Uang, uang, dan uang itu yang menjadi segala tujuan. Akupun butuh uang, namun kupertahankan agar idealismeku tak tergadaikan oleh uang. Begitupun inginku pada yang lain, agar kita tak menjadi jiwa-jiwa murah dengan dihargai nominal.

Akhirnya aku harus menyerah, besok harus kujumpai tuan berilmu tepat pukul 06.30 pagi. Menarilah dengan ilmu agar kelak kau tak menjadi budak kemunafikan.